Sunday, April 14, 2019

Kacaunya Pemilu di LN

Menyambung entri terakhir tentang kacaunya pendataan WNI untuk DPT, kali ini mari kita membahas tentang  kacaunya pelaksanaan Pemilu 2019.

Perlu diakui, animo masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu kali ini sangatlah tinggi. Sayangnya animo yg tinggi ini tidak dibarengi dengan pendataan yang baik. Padahal surat suara dicetak berdasarkan jumlah DPT + 2% untuk cadangan. Maka lihatlah apa yang terjadi ketika pendataan kacau: Masyarakat membludak, namun tidak kebagian surat suara.

Di LN, pemilih dibagi 3 kategori: 1. DPT, pemilih yang terdaftar sebelum 18 Desember 2018. 2. DPTb, pemilih yang terdaftar di DPT lain namun pindah ke TPS lain dengan membawa surat pindah. 3. DPK, yaitu pemilih yang tidak terdaftar di DPT dan DPTb, namun memiliki hak pilih dan bukti tinggal seperti passport berlamat LN/working permit/study permit, dll. Pemilih di DPT dan DPTb bisa memilih sejak jam 8 pagi hingga sore hari pukul 6. Sementara DPK hanya boleh memilih jam 5-6 sore, selama surat suara masih ada.

Kemudian Pemilu di LN ada 3 cara: 1. TPS, sama seprti di Indonesia. 2. Pos, surat suara akan dikirim via Pos, dicoblos, lalu dikirim kembali ke KPPS. Jika tidak dikirim kembali, ya sama saja golput. 3. KSK atau kotak suara keliling atau bahasa kerennya dropbox, disini KPPS akan membuka KSK di sejumlah titik asal jumlahnya mencapai 300 pemilih.

Masalah yang teramati adalah surat suara via pos tidak kunjung tiba, bahkan ternyata kembali lagi ke KPPS. Setidaknya di Korea, Malaysia, Australia terjadi. Hal ini dikarenakan verifikasi alamat pemilih tidak dilakukan sebelum pengiriman, juga kurir pengiriman yang tidak bisa ditrack. Di Taiwan, surat suara sampai pada orang yang berbeda yang sudah tidak berdomisili di Taiwan, sehingga  digunakan oleh orang lain. Walaupun diberi peringatan bahwa itu adalah termasuk tindak pidana.

Sementara di KSK, transport surat suara yang menjadi perhatian.

Lain halnya di TPS, karena data hasil pendaftaran yang tidak diverifikasi, apakah pemilih berdomisili di tempat yang sama, atau bahkan pindah ke negara lain, maka pemilih yang terdaftar di DPT banyak yang tidak hadir, di Thailand berkisar 30%. Sisa surat suara pun dialokasikan untuk DPTb dan DPK. Walaupun demikian, masih banyak yang tidak mendapat surat suara. Ini terjadi di Australia, Taaiwan, Thailand, Malaysia, Jerman, Istambul, dll.

Dengan membludaknya DPK, timbul 2 pertanyaan: 1. Kamu kemana aja sampai ga kedaftar? 2. Panitianya ngapain aja sampe banyak yg ga kedaftar? Toh tanda bukti adalah pemilih di daerah tersebut, bukan turis, mestinya terdata palagi orang Indonesia sukanya integrasi, kumpul2 sesama WNI, bikin komunitas ini dan itu.

Sistem yang terintegrasi, komunikasi yang efektif, serta verifikasi data adalah solusinya. Ah jikalau panitianya ngikutin apa kata sang misua, http://bangka.tribunnews.com/2018/11/15/komunikasi-efektif-membersihkan-data-pemilih-ganda-di-luar-negeri, maka peroalan bisa diminimalisir, ga nguras tenaga juga dana teralokasikan dengan baik.