Friday, June 10, 2005

Kisah dari Negeri Yang Mengigil

Puisi Faiz untuk "pemulung naik KRL untuk mengubur anaknya"

Puisi karya Abdurahman Faiz
KISAH DARI NEGERI YANG MENGGIGIL
(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)
(untuk adinda: Khaerunisa)

Kesedihan adalah kumpulan layang-layang hitam
yang membayangi dan terus mengikuti
hinggap pada kata-kata yang tak pernah sanggup kususun
juga untukmu, adik kecil

Belum lama kudengar berita pilu yang membuat tangis seakan tak berarti
saat para bayi yang tinggal belulang mati dikerumuni lalat karena busung lapar

: aku bertanya pada diri sendiri benarkah ini terjadi di negeri kami?
Lalu kulihat di televisi ada anak-anak kecil memilih bunuh diri
hanya karena tak bisa bayar uang sekolah
karena tak mampu membeli mie instan
juga tak ada biaya rekreasi

Beliung pun menyerbu dari berbagai penjuru
menancapi hati mengiris sendi-sendi diri
sampai aku hampir tak sanggup berdiri

: sekali lagi aku bertanya pada diri sendiri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Lalu kudengar episodemu adik kecil
Pada suatu hari yang terik
nadimu semakin lemah
tapi tak ada uang untuk ke dokter
atau membeli obat
sebab ayahmu hanya pemulung
kaupun tak tertolong

Ayah dan abangmu berjalan berkilo-kilo
tak makan, tak minum
sebab uang tinggal enam ribu saja
mereka tuju stasiun
sambil mendorong gerobak kumuh
kau tergolek di dalamnya
berselimut sarung rombengan pias terpejam kaku

Airmata bercucuran peluh terus bersimbahan
Ayah dan abangmu akan mencari kuburan
tapi tak akan ada kafan untukmu tak akan ada kendaraan pengangkut jenazah
hanya matahari mengikuti memanggang luka yang semakin perih
tanpa seorang pun peduli

: aku pun bertanya sambil berteriak pada diri
benarkah ini terjadi di negeri kami?

Tolong bangunkan aku, adinda
biar kulihat senyummu
katakan ini hanya mimpi buruk
ini tak pernah terjadi di sini
sebab ini negeri kaya, negeri karya.
Ini negeri melimpah, gemerlap.
Ini negeri cinta

Ah, tapi seperti duka
aku pun sedang terjaga
sambil menyesali
mengapa kita tak berjumpa, Adinda
dan kau taruh sakit dan dukamu
pada pundak ini

Di angkasa layang-layang hitam
semakin membayangi
kulihat para koruptor menarik ulur benangnya
sambil bercerita tentang rencana naik haji mereka
untuk ketujuh kalinya

Aku putuskan untuk tak lagi bertanya
pada diri, pada ayah bunda, atau siapa pun
sementara airmata menggenangi hati dan mimpi.

: aku memang sedang berada di negeriku
yang semakin pucat dan menggigil
(Abdurahman Faiz, 7 Juni 2005)

No comments: