Sunday, June 26, 2005

Trans TV setuju Lesbi...iih..g banget deh!

Promosi Perkawinan Lesbi di Trans-TV" .

Dalam acara Good Morning, salah satu stasiun TV swasta, Trans TV
melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis. Lesbi digambarkan
sebagai pejuang. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-104

Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good
Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis.
Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku
sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita.

Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun,
ditampilkan sebagai sosok yang "tertindas", diusir oleh keluarganya,
pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang
lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia.

Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang
lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin
jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya.

Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah
sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak
dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa
homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan
orientasi dan praktik seksual yang normal.

Acara Trans TV itu tentu saja perlu diberi perhatian serius oleh kaum
Muslimin. Sebab, ini merupakan kampanye dan promosi perkawinan sesama
jenis yang bersifat massal dan terbuka. Selama ini, banyak TV yang
menayangkan acara -baik sinetron, komedi, film- yang secara terselubung
berisi kampanye dukungan buat kaum homo.

Hanya saja, biasanya tidak sampai kepada bentuk dukungan terhadap
perkawinan sesama jenis.
Setelah acara itu, saya mengirimkan banyak SMS kepada beberapa tokoh
Islam di Indonesia. Namun, hampir seminggu ini, belum ada reaksi.

Mungkin tokoh-tokoh Islam sedang sibuk, atau sedang mengalami
"kegagapan" menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang
saat ini menjadi "penguasa moral" dan penentu nilai-nilai moral baru di
tengah masyarakat.


Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap "ketidakberdayaan"
(powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media
informasi seperti TV. Kasus Inul, Dewa, dan sebagainya, menunjukkan,
bagaimana tokoh-tokoh dan institusi keagamaan yang mencoba melawan
kebathilan itu akhirnya justru dihajar habis-habisan, dilecehkan,
diperhinakan oleh sang
penguasa media TV.

Melalui kekuasaannya, sang media mampu mengarahkan opini publik, bahwa
yang menolak
praktik-praktik kemaksiatan adalah orang-orang yang naif, emosional,
berpikiran sempit, sok moralis, dan sebagainya.

Lihatlah, hingga kini, berbagai stasiun TV secara bergiliran menampilkan
figur Artika Sari Devi, putri Indonesia yang berhasil masuk 15 besar
dalam kontes Miss Universe di Bangkok tahun ini. Semua TV memuji Artika
sebagai sosok yang sabar menghadapi ujian yang berat -berupa
protes-protes sebagian masyarakat- dan telah mengharumkan nama bangsa di
dunia internasional.

Orang-orang yang protes keikutsertaan Artika diposisikan sebagai
berwawasan sempit, karena
mempersoalkan soal kecil, yaitu masalah "pakaian renang".

Bahkan, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Meutia Hatta secara
implisit juga ikut mengakui jasa Artika buat bangsa. Opini publik
digiring dengan sangat kuat, untuk mengakui bahwa Artika adalah pahlawan
bangsa, sedangkan yang memprotes Artika adalah manusia-manusia picik,
naif dan dungu.


Apa yang sedang terjadi saat ini adalah terjadinya penghancuran
besar-besaran terhadap nilai-nilai
kebenaran dan kebathilan dalam masyarakat kita. Jika digunakan teori
konspirasi, ternyata hal ini sulit lagi dipetakan. Meskipun sebagian
besar pemilik stasiun TV adalah non-Muslim, tetapi ternyata TV yang
dimiliki Muslim (seperti Trans TV dan Lativi) juga tidak jauh beda cara
berpikir dan berperilakunya dengan stasiun TV yang dimiliki orang
non-Muslim.


Tampak yang dominan adalah pola pikir "materialisme" dan "kapitalisme"
yang mengedepankan keuntungan materi. Yang menjadi tolok ukur suatu
acara layak ditayangkan atau tidak di TV, adalah "rating" dan daya
tarik iklan.


Kampanye penyesatan, pergeseran, dan penghancuran nilai-nilai moral
tampaknya dirancang dengan sangat canggih. Sebagai contoh dalam kasus
Artika. Orang tidak diajak berdiskusi dalam soal substansi tentang nilai
manusia, tetapi dibelokkan ke masalah "pakaian renang."

Acara-acara kontes kecantikan adalah sebuah bentuk penistaan manusia dan
penghancuran tata nilai kemanusiaan. Apa pun alasannya, kontes semacam
ini, tetap lebih mementingkan unsur kecantikan fisik yang "given" dari
Tuhan. Seorang dihargai karena cantik, bukan karena prestasi dan usaha
kerasnya.

Dalam Islam, yang paling bertaqwa dinilai yang paling mulia. Tapi, soal
pakaian juga bukan soal kecil. Protes terhadap masalah itu juga
merupakan hal yang prinsip. Karena dianggap hal penting itulah, maka
peserta kontes Miss Universe diwajibkan memakai pakaian renang dalam
salah
satu sesi acara.

Kita bertanya, apa hubungannya kewajiban mengenakan pakaian renang
dengan kemuliaan
seorang wanita? Mengapa hal ini tidak diprotes oleh Artika dan
pendukungnya?

Promosi dan kampanye kebatilan semacam ini saat ini berlangsung dari
menit ke menit melalui layar TV yang menerobos masuk tanpa permisi ke
kamar-kamar masyarakat. Tak terkecuali kampanye legalisasi perkawinan
sesama jenis, seperti yang dilakukan Trans TV.

Pemilik dan awak televisi ini seperti tutup mata dan telinga, bahwa apa
yang mereka lakukan adalah
sebuah tindakan yang sangat bejat dan biadab, karena telah mempromosikan
sebuah kebatilan. Jika mereka muslim, mestinya mereka sadar, bahwa
praktik homoseksual dan lesbianisme adalah tindakan bejat.

Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks
merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah saw
bersabda, "Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah
pelakunya tersebut." (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah,
al-Hakim, dan al-Baihaki).

Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam
(dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih
bujangan atau sudah menikah.


Untuk pelaku praktik lesbi (wanita dengan wanita), diberikan ganjaran
hukuman kurungan dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS 4:15).
Para fuqaha membedakan hukuman antara pelaku homoseksual (sesama
laki-laki) dengan lesbian (sesama wanita). Pelaku lesbi tidak dihukum
mati.

Dalam Kitab Fathul Mu'in -kitab fiqih yang dikaji di pesantren-pesantren
Indonesia-- dikatakan, bahwa pelaku lesbi (musaahaqah) diberi sanksi
sesuai dengan keputusan penguasa (ta'zir).

Jadi, bagaimana pun, homoseksual dan lesbian adalah sebuah praktik
kejahatan kriminal,
dan tidak patut dipromosikan apalagi dilegalkan.


Dalam agama Kristen pun, homoseksual masih tetap dipandang sebagai
kejahatan. Paus saat ini, Benediktus XVI, dikenal sebagai penentang
gigih praktik homoseksual, meskipun dia sendiri tidak menikah.

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: "Bila seorang
laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan
perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka
dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri."


Karena itu, kita tidak habis mengerti, mengapa sebuah stasiun TV,
seperti Trans-TV berani-beraninya mempromosikan sebuah kejahatan, berupa
homoseksual dan lesbianisme. Keuntungan apakah yang mereka raup dari
promosi kejahatan seperti ini?

Yang masih kita syukuri, saat itu, TransTV tidak menampilkan orang-orang
sekular-liberal dari kalangan agama tertentu yang melegalisasi praktik
semacam itu.

Di dunia Kristen, sudah lazim ditemukan tokoh-tokoh agama Kristen yang
menghalalkan homoseksual atau bahkan yang secara terang-terangan
menjalankan praktik homoseksual. Kita masih ingat, bagaimana pada
tanggal 2 November 2003, dunia Kristen diguncang hebat oleh
satu peristiwa dilantiknya Gene Robinson, seorang gay, sebagai Uskup
Gereja Anglikan di New Hampshire, Amerika Serikat.

Posisi yang ditempati Robinson merupakan jabatan tertinggi yang pernah
dicapai oleh
seorang gay di lingkungan Gereja.

Robinson (56 tahun) adalah pelaku homoseksual yang telah hidup bersama
dengan pasangan homoseks-nya bernama Mark Andrew, selama 14 tahun. Bisa
dibayangkan, selama ia menjadi tokoh gereja pun, sebenarnya publik telah
mengatahui perilakunya.

Dalam acara penobatannya sebagai Uskup, Mark Andrew-lah yang menyerahkan
topi keuskupan (bishop's miter) kepada Robinson. Di akhir upacara
penobatannya, Gene Robinson
menatap publik, dan bersama-sama mereka menyanyikan lagu "Hallelujah".


Itu terjadi di dunia Kristen. Di kalangan Islam, bahkan di lingkungan
pendidikan tinggi Islam, juga
sudah muncul kondisi serupa. Sejumlah akademisi Islam yang belajar Islam
di IAIN memberikan legitimasi terhadap perkawinan sejenis.

Tahun 2004 lalu, "Jurnal Justisia" terbitan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, menulis "cover story" dengan judul "Indahnya Kawin
Sesama Jenis". Isi jurnal ini kemudian juga disebarkan melalui sebuah
media internet (www.indoqueer.com <http://www.indoqueer.com/> ).

Dari delapan artikel utama yang membahas isu tersebut, semuanya
menyuarakan keberpihakannya terhadap pernikahan gay dan homoseksualitas
secara umum, kecuali satu tulisan saja yang dengan tegas
mengharamkannya.


Dikatakan di Jurnal ini, bahwa "Hanya orang primitif saja yang yang
melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.
Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk
melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa
proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.

Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin
bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam menciptakan manusia (karena waktu
itu manusia masih sedikit)?"


M Kholidul Adib Ach yang menulis artikel berjudul "Agama Peduli
Homoseksual: Membebaskan Kaum Homoseksual dari Penindasan Agama",
berpendapat begini: "Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan
umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya
secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis
atas
doktrin tersebut."

Menurut pemimpin redaksi Jurnal Justisia ini, pembacaan yang dilakukan
umat sekarang atas kisah kaum Luth hanya sebatas permukaan dan tidak
membaca "narasi yang tak tampak".

Katanya, "Boleh jadi cerita kaum Luth ini, kalaupun benar adanya,
jangan-jangan malah
cuma mitos, terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang
kebetulan homoseks."

Senada dengan Kholidul Adib, penulis lain bernama Sumanto al-Qurtuby
yang juga redaktur eksekutif Justisia mengkritisi kisah yang sama dengan
pertanyaan, andaikan kisah Luth itu "historis", apakah homoseksualitas
merupakan unsur utama atau komplemen saja?

Qurtuby memberi ilustrasi dengan menyebut kisah perseteruan mantan PM
Mahathir
Muhammad dengan Anwar Ibrahim di Malaysia: sebuah kisah pertandingan
politik yang dibungkus dengan isu sodomi.

Jika kita ikuti wacana dan perdebatan tentang homoseksual yang diangkat
sebagian mahasiswa IAIN Semarang ini, nyaris sama dengan wacana serupa
di kalangan Kristen.

Dalam kasus homoseksual, para teolog Kristen pendukung homoseksual juga
berlomba-lomba membuat tafsiran baru, agar praktik maksiat itu disahkan
oleh Gereja. Dalam Bible, Kitab Kejadian 19:4-11, diceritakan tentang
hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan Gomorah.

Pada umumnya, kaum Kristen memahami, bahwa homoseksual adalah penyebab
kaum itu dihancurkan oleh Tuhan. Sehingga mereka mempopulerkan istilah
Sodomi yang menunjuk pada praktik maksiat antar sesama jenis.


Tetapi, sebagian teolog Kristen pendukung homoseksual kemudian membuat
tafsiran lain. John J. McNeill SJ, misalnya, menulis buku "The Church
and the Homosexual" memberikan justifikasi moral terhadap praktik
homoseksual. Menurut dia, Tuhan menghukum kaum Sodom dan Gomorah, bukan
karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota
itu terhadap Tamu Lot.

Kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama "Dignity" yang
mengajarkan, bahwa
praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus.

Tahun 1976, dalam pertemuan tokoh-tokoh Gereja di Minneapolis, AS,
dideklarasikan, bahwa
"homosexual persons are children of God."

Itulah yang terjadi dalam dunia Kristen. Dan itu pula yang sekarang
sedang diusahakan oleh sebagian orang dari kalangan Muslim untuk
mengikuti jejak Kristen.


Promosi homoseksual kini terus digencarkan sebagai bagian dari proses
sekularisasi dan liberalisasi
Islam. Meskipun secara formal mereka mengaku Islam, para promotor
kemunkaran tidak berhenti untuk mempromosikan kebatilan (al-munkar) dan
justru aktif mencegah dan melawan kebenaran. Allah sudah mengingatkan
akan adanya makhluk-makhluk seperti ini:

"Orang-orang munafik laki-laki dan wanita, sebagian mereka dengan
sebagian lain adalah sama, mereka menyuruh yang munkar dan melarang yang
ma'ruf, dan mereka menggenggamkan tangannya (bakhil). Mereka telah lupa
kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itulah orang-orang yang fasik." (QS at-Taubah:67). Wallahu
a'lam. (Jakarta, 17 Juni 2005).


CAP Adian Husaini adalah kerjasam antara Radio Dakta 107FM dan
www.hidayatullah.com <http://www.hidayatullah.com/>

No comments: